Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah SWT yang tiada hentinya diucapkan atas seluruh kenikmatan yang diberikannya tanpa perhitungan maupun pertimbangan apapun hingga makalah kelompok kami yang membahas tentang pasal 29 ayat 1 ini dapat di selesaikan. Kemungkinan besar dalam pembahasan makalah ini ada suatu kesalahan yang didapati secara sadar maupun tidak sadar, apabila ada kekurangan dan kesalahan mohon maaf.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi penilaian mata
kuliah pelajaran kewarganegaraan, dan berharap agar makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca pada khususnya dan dapat bermanfaat bagi kelompok kami
sehingga kelompok kami dapat melengkapi tugas yang diberikan oleh Bapak Drs.
Mei Raharja, MM selaku dosen kewarganegaraan kelompok kami. Besar harapan kami
untuk mendapatkan nilai yang baik.
Semoga makalah ini bermanfaat dan maaf apabila
banyak kekurangan dalam makalah ini, terima kasih.
Jakarta,13
April 2013
Penyusun
BAB 1. PENDAHULUAN
UUD 1945 merupakan dasar Negara yang diharapkan menjamin perjalanan kehidupan
bangsa beserta warganya, tentunya dalam suatu sistem ketata-negaraan mutlak
hukumnya adanya suatu perundang-undangan atau peraturan yang mana fungsi utama
dari kesemuanya itu adalah guna mengatur dan mengendalikan arah suatu sistem
negara agar tidak melenceng dari jalurnya. tentunya dalam seluruh aspek
kehidupan bernegara, berbangsa,beragama, dan bermasyarakat di satu tanah air
yaitu Indonesia.
suatu negara yang demokrasi dan berlandaskan hukum ini tidak melarang adanya
suatu kepercayaan yang di anut oleh warga negaranya sendiri, dan tentunya harus
dilindungi dengan suatu perundang-undangan yang jelas, tegas yang mana menjamin
keamanan dalam menjalankan kehidupan beragama dalam suatu negara yang bersifat
non religius. Dalam hal ini Negara khatulistiwa atau Indonesia ini memiliki suatu
perundang-undangan yang mengatur urusan tentang kehidupan beragama yakni
terdapat pada pasal 29 ayat 1 dan 2, pembahasan pada makalah ini adalah seputar
menganalisa seberapa jauh relevansi pada pasal 29 ayat 1 dalam sistem
perundang-undang NKRI ini.
Rumusan Masalah
1.
Apa saja perundang-undangan yang mengatur kehidupan beragama yang
terdapat dalam UUD 1945?
2.
Bagaimanakah relevansi dari
kedua ayat tersebut?
BAB 2. PEMBAHASAN
AGAMA dalam UUD
1945
Pasal 29
(1) Negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing.
Dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu dari bunyi pasal 29 ayat
1 telah di jelaskan bahwa ideologi awal dasar negara Indonesia ini adalah
Ketuhanan yang Maha Esa, akan tetapi ayat ini menjadi berkontraski ketika bunyi
pasal 29 ayat 2 amat bertentangan dengan ayat sebelumnya, keterkaitan antara
ayat di pasal ini menjadi terputus dan subtansi dari masing- masing ayat
menjadi kabur. Prinsip ketuhanan yang ditanamkan dalam UUD 1945 oleh the
founding parents merupakan suatu perwujudan akan pengakuan keagamaan. Dalam
perspektif Islam, hal ini memberikan pengakuan terhadap eksistensi Agama Islam
Sebagai agama resmi dan Hukum Islam sebagai hukum yang berlaku di Indonesia.
Sistem yang di anut Indonesia dalam perundang-undanganya merupakan Mix Law system mengapa indonesia menganut sistem tersebut dan pada pasal 29 ayat 1 dan 2 bertentangan,? karena pada dasarnya sistem yuridis konstitusional indonesia terbuka lebar terhadap penerapan syariat islam dan hal yang berkaitan pada pasal 29 ayat 2 merupakan bentuk implementasi dari suatu sistem negara yang demokratis yang mana setiap warga negara bebas menentukan jalurnya dalam beragama.
Membahas mengenai kehidupan beragama dalam perspektif konstitusi
dapat dijelaskan bahwa setiap warga negara wajib untuk memeluk dan menjalankan
agama, termasuk Agama Islam. Hal ini menjadi suatu konsekuensi bagi pemeluk
agama yang bersangkutan wajib menjalankan syariat agama. Apabila seseorang
beragama Islam atau menyatakan diri beragama Islam, maka dia harus tunduk pada
aturan Islam, bukan justru dia hanya mengaku beragama Islam tanpa melaksanakan
kewajibannya sebagai umat Islam dengan sungguh-sungguh. Pengertian hak beragama
hanya mengenai hak untuk menjalankan salah satu agama yang berlaku di
Indonesia. Sehingga dalam tataran implementasi mengenai kehidupan beragama
perlu adanya aktualisasi mengenai nilai-nilai kebebasan yang ada untuk
memberikan pencerahan makna yang terkandung di dalam UUD 1945.
Penekanan kewajiban untuk menjalankan agama yang diyakini dbuktikan
dengan menjalankan rukun- rukun dari setiap aturan agama yang berlaku di
Indonesia Sehingga apabila prinsip beragama dalam perspektif konstitusi
diartikan secara seimbang antara hak dan kewajiban, maka akan mudah bisa
mewujudkan ketertiban hukum, kehidupan yang saling toleransi, dan ketentraman.
Peran Agama dalam Masyarakat
Mungkin tidak semua dari kita sadar bahwa lingkungan kita semakin tidak
nyaman, baik secara lahiriyah apalagi
secara batiniyah, karena berbagai
kerusakan yang muncul dan terus bertambah seiring dengan perjalanan waktu.
Kerusakan moral individu dan kemudian bertransformasi menjadi kerusakan moral
massal. Kita akrab dengan berita kekerasan di berbagai institusi, mulai dari
institusi non-formal seperti keluarga sampai pada institusi formal seperti
institusi pendidikan. Korupsi dan tindakan koruptif juga mengakar dan mendarah
daging baik di institusi pemerintah maupun swasta. Pergaulan bebas menjadi
kebanggaan, seks bebas menjadi
kebiasaan, aborsi menjadi hal yang normal, tindakan asusila menjadi susila dan
perusakan lingkungan menjadi lumrah. Padahal kita hidup dalam suatu negara yang
diklaim sebagai negara hukum dan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia,
hidup dalam masyarakat yang menglaim dirinya sebagai masyarakat bermoral,
religius, beradab dan klaim-klaim yang sangat menyejukkan hati dan
menenteramkan jiwa bila didengar. Apakah predikat-pridikat ini hanya sekedar
“kulit” yang “membungkus” masyarakat saja. Lalu di mana agama yang secara
tertulis menjadi identitas kita? Mengapa ia tidak berdaya mengendalikan segala
kerusakan yang ada di lingkungan masyarakat? Atau ajaran agama telah
dimanipulasi untuk menjustifikasi tindakan-tindakan destruktif?
Dalam hal ini, ada empat kelompok manusia, yaitu pertama, orang yang “lari” dari ajaran agama; kedua, orang yang memahami agama dan
menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi atau kelompok; ketiga, orang yang memahami agama dan
menjalankannya untuk memperoleh keshalihan individu;
keempat, orang yang memahami
agama dan mentransformasikannya, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial
bermasyarakat.
Pertama, orang yang “lari” dari ajaran agama. Orang-orang
seperti ini pada dasarnya tahu ajaran agama, namun mereka merasa agama hanya
mengekang kebebasan individu untuk berekspresi dan tidak membawa keberuntungan.
Orang-orang seperti ini pada umumnya tidak lagi menggubris ajaran agama
sehingga apabila teks-teks agama digunakan untuk mengajak mengerjakan atau
meninggalkan sesuatu tidak akan lagi mempan. Dan bahkan mungkin mereka sudah
tidak takut neraka dan tidak tertarik dengan surga yang dijanjikan oleh Allah
SWT.
Mereka cenderung mengutamakan akal dalam menimbang untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu. Dengan pertimbangan akal ini maka yang akan muncul
adalah pemikiran pragmatis yang hanya memandang keuntungan dan kerugian yang
praktis dan cepat. Artinya mereka mau melakukan atau meninggalkan sesuatu kalau
hal itu akan mendatangkan keuntungan. Lalu apakah menggunakan akal untuk
mempertimbangkan sesuatu adalah tindakan yang salah? Tidak. Menggunakan
pertimbangan akal dalam memandang setiap persoalan bukanlah suatu kesalahan.
Bahkan menggunakan akal hukumnya wajib bagi yang berakal. Yang menjadi
pertanyaan adalah sejauhmana manusia dapat melepaskan akalnya dari lingkaran
hawa nafsu ketika menggunakannya untuk mempertimbangkan masalah? Harus diakui,
akal mempunyai kecenderungan positif dan negatif. Dan hanya sedikit orang yang
mampu membersihkan akalnya dari motif-motif negatif.
Kedua, kelompok yang memahami agama dan
menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Kelompok ini tahu
dan mengerti bahwa ajaran agama menunjukkan dan mengajak manusia pada jalan
kebenaran. Apabila pertunjukan itu dilaksanakan maka manusia akan dapat
menjalani hidup dengan penuh ketenangan dan ketenteraman, baik secara individu
maupun sosial.
Melihat kelompok ini mungkin kita berfikir tentang kelemahan peran agama
dalam melarang manusia dari tindakan-tindakan negatif dan menggiring mereka
kearah yang lebih baik. Pada dasarnya bukanlah agama itu sendiri yang salah
atau lemah, akan tetapi mereka menyalahgunakan ajaran agama yang mereka pahami.
Namun, sering sebenarnya pemahaman agama mereka lemah dan salah sehingga tidak
dapat menjangkau apa sebenarnya dikehendaki oleh agama. Parahnya lagi mereka
sering tidak menyadari kelemahan itu dan dengan kepercayaan diri yang tinggi
malah menggunakan tameng agama untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya dilarang
oleh agama dan mereduksi ajaran agama itu sendiri.
Kelompok ini secara kasat mata pandai dan mengerti ajaran agama, namun
tindakan mereka tidak mencerminkan ajaran agama yang dia anut. Melakukan
tindakan yang meresahkan atau bahkan merugikan dan mendhalimi masyarakat .
Meskipun demikian, ia masih merasa benar dengan tindakannya itu dan
menjustifikasinya dengan dalil-dalil atau teks agama. Mereka mengingkari bahwa
pada dasarnya agama sama sekali tidak punya kepentingan dalam visi dan misinya
dalam kehidupan makhluk di dunia ini kecuali untuk membuat suatu tatanan demi
kebaikan makhluk itu sendiri.
Ketiga, kelompok yang memahami agama dan menjalankannya
untuk memperoleh keshalihan individu. Banyak orang yang memahami dan
menjalankan agama, namun hanya untuk dirinya sendiri. Orang seperti ini rajin
dan konsisten (istiqomah) menjalankan
ibadah-ibadah mahdhah. Akan tetapi
orientasi ibadahnya hanya berorientasi pada keselamatan dirinya sendiri tanpa
mempedulikan orang lain dan lingkungannya. Secara individu orang seperti ini
memang cukup shalih, namun secara sosial ia belum pantas disebut seorang yang
shalih.
Keempat, orang yang
memahami dan mengamalkan ajaran agama, dan mentransformasikannya dalam
kehidupan sosial bermasyarakat. Orang seperti ini memahami agama sebagai
perangkat untuk membentuk keshalihan pribadi dan sekaligus untuk membentuk
keshalihan sosial, demi terciptanya masyarakat yang bermoral. Memang,
keshalihan spiritual pribadi saja tidak cukup untuk menciptakan masyarakat yang
aman, nyaman, tenteram, adil menyenangkan. Kashalihan pribadi harus
ditransformasikan dalam kehidupan bermasyarakat dalam bentuk ibadah-ibdah
sosial. Sayangnya kelompok ini hanya sedikit di lingkungan kita, sehingga
kerusakan moral dan kerusakan lingkungan masih berkembang dan bertambah seiring
dengan perjalanan waktu.
Transformasi ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat bisa dikatakan
sebagai proses refleksi memahami wahyu paling dalam, the depth hermeneutics, yang harus berjalan secara dialogis
untuk menghasilkan aksi. Tujuan akhir dari transfomasi ajaran agama ini adalah
praksis-sosial ekonomi, sebuah perubahan nyata yang secara sosial ekonomi
terjadi pada masyarakat sehari-hari. Masalah kaum mustadh’afin,
soal minoritas, seharusnya dilihat sebagai bagian dari suatu konsep praktis.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa kerusakan yang masih terus berlangsung di
sekitar kita bukanlah “kegagalan” agama dalam membangun masyarakat yang
bermoral. Namun yang terjadi adalah kegagalan dalam memahami agama dan
mentransformasikannya dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Agama hanya
dipahami sebagai aturan-aturan legal formal yang menyediakan pahala dan dosa,
ganjaran dan hukuman, surga dan neraka, yang kesemuanya bersifat abstrak.
Selain mengandung aturan legal formal, agama mempunyai perangkat ideal moral
yang pada dasarnya menjadi inti ajaran agama. Untuk menciptakan masyarakat yang
bermoral kedua komponen ini harus diimplementasikan dalam kehidupan individu
dan bermasyarakat.
Dalam kehidupan bermasyarakat, agama memegang peranan
yang besar dan sangat penting. Keberadaan agama di tengah-tengah masyarakat
tidak dapat diabaikan. Agama mengatur tentang bagaimana membentuk masyarakat
yang madani. Agama juga yang mampu menciptakan kerukunan dalam kultur
masyarakat yang majemuk. Seperti yang kita semua ketahui bahwa tidaklah mudah
untuk hidup dalam perbedaan. Setiap perbedaan, utamanya perbedaan pendapat yang
ada di masyarakat dapat memicu timbulnya perselisihan. Di sinilah posisi agama
memainkan perannya yang penting sebagai penegak hukum dan menjaga agar
masyarakat saling menghormati dan tunduk pada hukum yang berlaku.
Jika dalam masyarakat agama sudah tidak dianggap
memegang peran yang penting, dapat dipastikan kehidupan sosial masyarakat
tersebut akan mengalami dekadensi moral dan kekacauan yang nantinya bakal
meluas ke lingkup yang lebih luas, yakni bangsa dan negara. Dan ini merupakan
ciri dari akan hancurnya dunia! Yah, kiamat sudah dekat jika agama telah hilang
dari sendi-sendi kehidupan.
Agama memainkan perannya yang sentral dalam hal
kultur maupun kehidupan sosial kemasyarakatannya melalui nilai-nilai luhur yang
diajarkannya. Diantara sekian banyak nilai-nilai yang terdapat dalam agama
tersebut, nilai luhur yang paling banyak dan paling relevan dengan sosial
kemasyarakatan adalah nilai spiritual yang tetap menjaga agar masyarakat tetap
konsisten dalam menjaga stabilitas lingkungan, serta nilai kemanusiaan yang
mengajarkan manusia agar dapat saling mengerti satu sama lain, serta dapat saling
bertenggang rasa. Saling memahami antar masyarakat merupakan langkah awal yang
bagus untuk membentuk masyarakat yang madani.
1. Nilai Spiritual
Setiap orang mempunyai kebutuhan fundamental
sesuai dengan fitrahnya yang meniliki jasmani dan rohani, dan apabila dikaitkan
dengan berbagai ragam hubungan manusia dalam kehidupannya, di setiap hubungan
tersebut ada hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam, manusia
dengan manusia lain/masyarakat, dan manusia dengan dirinya sendiri. Untuk
memenuhi kebutuhan rohaninya manusia melaksanakan nilai spiritual dalam
kehidupannya.
Nilai spiritual memiliki hubungan dengan sesuatu
yang dianggap mempunyai kekuatan sakral suci dan agung. Karena itu termasuk
nilai kerohanian, yang terletak dalam hati (bukan arti fisik), hati batiniyah
mengatur psikis. Hati adalah hakekat spiritual batiniah, inspirasi, kreativitas
dan belas kasih. Mata dan telinga hati merasakan lebih dalam realitas-realitas
batiniah yang tersembunyi di balik dunia material yang kompleks. Itulah pengetahuan
spiritual. Pemahaman spiritual adalah cahaya Tuhan ke dalam hati, bagaikan
lampu yang membantu kita untuk melihat (Robert Frager 2002: 70).
Bila dilihat tinggi rendahnya nilai-nilai yang
ada, nilai spiritual merupakan nilai yang tertinggi dan bersifat mutlak karena
bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa (Notonagoro, 1980). Dalam kehidupan
sosial-budaya keterikatan seseorang dihubungkan dengan pandangan hidup suatu
masyarakat atau kehidupan beragama. Setiap orang akan selalu memiliki kekuatan
yang melebihi manusia, dalam pandangan orang beragama disebut sebagai Yang Maha
Kuasa, Allah, Sang Hyang Widi, Tuhan, God, Dewa, Yang Maha Pencipta, dan
sebagainya. Manusia sangat tergantung dan hormat pada kekuatan yang ada di luar
dirinya, bahkan memujanya untuk melindungi dirinya dan bila perlu rela
mengorbankan apa saja harta, jiwa/nyawa sebagai bukti kepatuhan dan ketundukan
terhadap yang memiliki kekuatan tersebut.
Begitu kuatnya keyakinan terhadap kekuatan
spiritual sehingga ia dianggapa sebagai kendali dalam memilih kehidupan yang
baik dan atau yang buruk. Bahkan menjadi penuntun bagi seseorang dalam
melaksanakan perilaku dan sifat dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
2. Nilai Kemanusiaan
Dalam menjalani kehidupannya, manusia dihadapkan
pada berbagai macam permasalahan hidup yang merupakan hakekat dari kehidupan
itu sendiri. Selama manusia itu hidup maka permasalahan hidup ini tidak akan
pernah lepas dari kehidupannya.
Yang dimaksudkan dengan permasalahan hidup di sini
adalah segala sesuatu yang perlu diatasi ataupun suatu kebutuhan yang harus
dipenuhi. Berikut ini adalah beberapa permasalahan hidup manusia yang bersifat
universal, yaitu dimanapun manusia itu ada maka permasalahan hidup ini sksn
selalu ada. Bagaimana cara menusia itu mengatasi permasalahan tersebut,
misalnya dengan mengambil hikmah, atau upaya yang dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya itu, akan menunjukkan kualitas dari diri manusia sebagai
sisi nilai kemanusiaanya.
2.1.Cinta Kasih
Cinta kasih merupakan sesuatu yang tidak dapat
dipisahkan dalam kehidupan manusia. Setiap manusia/orang membutuhkan untuk
mencintai dan dicintai, sebagai kebutuhan yang fundamental. Apabila dikaitkan
dengan berbagai ragam hubungan manusia dalam kehidupannya, disetiap hubungan terdapat
aspek cinta. Ragam hubungan tersebut adalah antara manusia dengan Pencipta
(Tuhan), manusia dengan alam, manusia dengan manusia lain/masyarakat, dan
manusia dengan dirinya sendiri.
Menurut Erich Fromm, ada empat syarat utama yang
harus dipenuhi untuk mewujudkan cinta kasih, yaitu:
1.) Knowledge
(pengenalan), dengan demikian yang bersangkutan akan menerima sebagaimana
adanya.
2.) Responsibility
(tanggung jawab), yang mana masing-masing pihak mempunyai tanggung jawab yang
sama besarnya.
3.) Care (pengasuhan,
perhatian, perlindungan, saling peduli).
4.) Respect (saling
menghormati).
Cinta kasih bisa dipahami dari beragam hubungan yang dijalin oleh
subjek-subjek yang mengadakan hubungan tersebut, yaitu:
Manusia dengan Sang Pencipta, disebut Agape. Bentuknya berupa: pengabdian,
pemujaan disertai kepasrahan.
Manusia dengan manusia lain, yang disebut:
1.) Philia, jika bentuknya cinta persaudaraan atau persahabatan;
2.) Eros, jika cintanya menyangkut aspek ragawi;
3.) Amor, dalam aspek psikologis dan emosional.
Manusia dengan alam sekitar/lingkungan.Bentuk
cinta kasihnya diwujudkan dengan menjaga/melestarikan lingkungan, dengan
menciptakan keserasian, keselarasan, keseimbangan dengan alam/lingkungan.
Sehingga dapat diupayakan suatu kehidupan yang menyengangkan, bahagia dan
sentosa.
Untuk memperjelas uraian tentang cinta kasih,
berikut ini adalah bentuk-bentuk cinta kasih yang antara lain adalah:
1.) Cinta terhadap Tuhan
2.) Cinta Persaudaraan
3.) Cinta Keibuan
4.) Cinta Erotis
5.) Cinta Diri Sendiri.
Sedangkan untuk selanjutnya hanya akan dibahas mengenai cinta terhadap
Tuhan dan Cinta Persaudaraan.
2.1.1. Cinta Terhadap Tuhan
Manusia makhluk ciptaan Tuhan. Bagaimana
perwujudan rasa cinta ditujukan kepada Tuhan, sebenarnya telah dikemukakan
dalam kitab suci yang memuat ajaran-ajaran yang bersifat religius. Salah satu
bentuk yang diajarkan adalah bagaimana kita menjalankan apa yang Tuhan
perintahkan dan menjauhkan apa yang dilarangNya, sebagaimana yang dimuat dalam
kitab suci tersebut. Rasa cinta manusia kepada Tuhan tidak dapat dipisahkan
dari kehidupan manusia. Oleh karena itu pemujaan kepada Tuhan dalam bentuk
ibadah kepadaNya dengan suatu ikhtiar yang disertai kepasrahan merupakan inti
dari kehidupan manusia. Mengapa hal itu dikatakan demikian? Karena Tuhan adalah
pencipta alam semesta, manusia adalah bagian dari alam semesta yang tidak ada
apa-apanya dibandingkan dengan kekuasaan Tuhan.
Selain itu kehidupan dunia adalah tidak
abadi.Untuk mencapai kehidupan yang kekal di akhirat dengan bahagia, tentunya
manusia harus mempersiapkan dirinya dahulu di dunia. Sebagaimana telah
dikemukakan diatas, yaitu dengan menjalankan perintah Tuhan dan menjauhkan
laranganNya. Salah satu yang diperintahkan Tuhan adalah memberikan cinta kasih
terhadap sesama manusia termasuk dirinya sendiri dan juga terhadap alam
semesta.
2.1.2. Cinta Persaudaraan
Manusia adalah makhluk sosial, ia tidak dapat
hidup sendiri di dunia ini tanpa bantuan manusia atau makhluk lainnya. Selain
itu, manusia juga mempunyai kebutuhan-kebutuhan hidup alamiah yang perlu
dipenuhi. Kebutuhan-kebutuhan mendasar tersebut antara lain:
1.) Dorongan untuk mempertahankan hidup. Sebagai suatu kekuatan biologi
yang ada pada semua makhluk di dunia dan yang menyebabkan mampu mempertahankan
hidupnya di muka bumi.
2.) Dorongan seksual. Dorongan yang timbul pada tiap individu normal tanpa
pengaruh pengetahuan, dan sebagai landasan biologis yang mendorong manusia
untuk meneruskan keturunannya.
3.) Dorongan untuk usaha mencari makan. Dorongan ini tidak perlu di
pelajari, dan sejak bayipun manusia sudah menunjukkan dorongan untuk mencari
makan, yaitu dengan mencari susu ibunya atau botol susunya tanpa dipengaruhi
oleh pengetahuan.
4.) Dorongan untuk bergaul atau berinteraksi dengan manusia lain. Sebagai
landasan biologis dari kehidupan masyarakat manusia sebagai makhluk kolektif.
5.) Dorongan untuk meniru tingkah laku sesamanya. Dorongan ini merupakan
sumber dari adanya beraneka ragam kebudayaan manusia. Dengan adanya dorongan
ini, manusia mengembangkan adat yang memaksanya membuat kesepakatan-kesepakatan
dengan manusia di sekitarnya.
6.) Dorongan untuk berbakti. Dorongan ada dalam naluri manusia karena
manusia adalah makhluk yang hidupnya kolektif. Sehingga untuk dapat hidup
bersama dengan manusia lain secara serasi, ia perlu landasan biologi untuk
mengembangkan rasa altruistik, rasa simpati, rasa cinta dan sebagainya, yang
(mendukung) memungkinkannya hidup bersama tersebut. Kalau dorongan ini
diekstensikan dari dorongan untuk berbakti sesama manusia, kepada
kekuatan-kekuatan yang oleh perasaannya dianggap berada di luar kemampuan
dirinya, maka akan timbul religi/agama.
7.) Dorongan akan keindahan, dalam arti keindahan bentuk, warna-warna,
suara atau gerakan. Pada seorang bayi dorongan ini sudah tampak pada gejala
tertariknya seorang bayi kepada bentuk-bentuk dan warna-warna tertentu.
Dorongan naluri ini merupakan landasan dari suatu unsur penting dalam
kebudayaan manusia yaitu kesenian (Koentjaraningrat, 1990: 109-111).
Kebutuhan-kebutuhan tersebut di atas tidak dapat
dipenuhi oleh dirinya sendiri. Oleh karena itu ia membutuhkan orang lain untuk
memenuhinya. Artinya ia harus bekerjasama dan menjalin hubungan yang baik
dengan orang lain. Bagaimana agar dapat bekerjasama dan terjalin hubungan yang
baik, tentunya harus ditumbuhkan sikap altruisme yang memperlihatkan rasa cinta
kasih antara sesama manusia yang saling membutuhkan itu, dan bukan sikap yang
sebaliknya.
2.2. Penderitaan dan Kegelisahan
2.2.1. Penderitaan
Ciri kehidupan di dunia ini ditandai oleh tawa dan
tangis yang mencerminkan keadaan yang fana. Pada suatu saat kita temukan
kebahagiaan, yang pada umumnya diungkapkan dengan tawa ria. Pada saat lain kita
mengalami penderitaan, kesakitan, kesusahan, yang biasanya diungkapkan dengan
tangis. Penderitaan merupakan pengalaman pahit yang tidak didambakan oleh
setiap manusia.
Hakikat penderitaan adalah:
1.) Dikotomis, yaitu kita melihat sesuatu sebagai dua kutub yang berdekatan
namun berlawanan, penderitaan dan kebahagiaan. Tidak ada penderitaan kalau kita
tidak mengenal kebahagiaan, dan sebaliknya.
2.) Universal namun unik/spesifik. Secara universal setiap orang
tahu/mengenal/merasakan arti penderitaan, namun secara spesifik berat ringannya
penderitaan dipersepsikan secara individual yang dipengaruhi oleh latar
belakang sosial budayanya.
3.) Kontradiktif, yaitu ditemukan pola menyimpang, yang dirasakan aneh bagi
orang lain. Pola tersebut antara lain, dalam penderitaan badaniah terdapat
suatu ’kebebasan’/kebahagiaan rohaniah, penderitaan seseorang untuk kebahagiaan
orang lain.
2.2.2.
Kegelisahan
Kegelisahan adalah suatu rasa tidak tentram, tidak
tenang tidak sabar, rasa khawatir/cemas pada manusia. Jadi gelisah merupakan
suatu rasa negatif yang berkembang dalam diri manusia, yang bersifat
psikologis/kejiwaan. Kegelisahan merupakan gejala universal yang ada pada diri
manusia manapun. Namun kegelisahan hanya dapat diketahui dari gejala tingkah
laku atau gerak-gerik seseorang dalam situasi tertentu.
Kegelisahan menujukkan pada sesuatu yang negatif,
tetapi di sisi lain tetap mempunyai harapan. Sehingga antara kegelisahan dan
harapan seolah-olah merupakan saudara kembar. Muncul ketenangan apabila ada
keseimbangan antara kegelisahan dan harapan.
2.3. Otoritas Agama dan Masyarakat
Pada dasarnya masyarakat modern ditandai dengan
menguatnya rasionalitas dan melemahnya peran agama. Sebelum perkembangan ilmu
pengetahuan seperti saat ini, agama menjadi pemandu manusia dalam mengatasi
kecemasan hidupnya di tengah “kekuatan alam”. Meskipun tidak memberikan suatu
tingkat solusi yang dapat dipertanggungjawabkan, namun agama dalam kehidupan
masyarakat senantiasa menjadi obat mujarab segala persoalan.
Dalam proses selanjutnya, perkembangan ilmu
pengetahuan menggeser peran agama tersebut. Ilmu pengetahuan dinilai sangat
membantu manusia dalam memecahkan misteri alam. Padahal di masa sebelum ilmu
pengetahuan, kekuatan alam seringkali menjadi sesuatu yang mencemaskan bagi
kehidupan manusia. Bahkan penyembahan terhadap alam dalam komunitas agama
primitif tidak bisa dilepas dari misteri kekuatan alam yang mencemaskan itu.
2.4. Peran Agama Menguat
Pasca berkembang pesatnya ilmu pengetahuan di abad
modern ini, alam justru menjadi pelayan manusia. Bahkan terdapat kecenderungan
ekploitasi terhadap alam bagi kesejahteraan hidup manusia. Proses modernisasi
di sebuah negara, yang ditandai dengan semakin kuatnya peran ilmu pengetahuan
diramalkan akan mencabut peran agama dalam masyarakat.
Namun ramalan itu ternyata tidak sepenuhnya tepat.
Hingga kini kita masih melihat kecenderungan kuatnya peran agama dalam
masyarakat. Dalam masyarakat modern di kota-kota besar Indonesia, misalnya,
menggambarkan adanya kegairahan dalam beragama. Maraknya acara-acara keagamaan
dan bermunculannya tokoh-tokoh pendakwah muda menunjukkan adanya permintaan
yang sangat besar dari masyarakat kota terhadap otoritas agama. Dalam industri
televisi juga dapat dilihat dari begitu tingginya rating acara-acara yang
bernuansa agama. Dapat disimpulkan bahwa semakin modern sebuah masyarakat tidak
serta merta menggeser peran agama dalam kehidupan mereka.
Dalam hal-hal tertentu memang kita saksikan adanya
pergeseran. Dahulu, hampir semua persoalan sosial yang dialami masyarakat
biasanya akan dikonsultasikan kepada tokoh agama. Mereka menjadi konsultan dari
persoalan publik hingga problem keluarga. Modernisasi kemudian menggeser peran
itu. Persoalan sosial tersebut kini sudah terfragmentasi dalam lembaga-lembaga
khusus sesuai dengan keahlian dari pengelola lembaga tersebut. Jadi, dalam
batas-batas tertentu modernisasi atau perkembangan ilmu pengetahuan memang
telah menggeser posisi agama. Namun itu tidak serta merta dapat dimaknai bahwa
agama akan kehilangan fungsi dan menghilang dengan sendirinya.
B. Fungsi Agama dalam Masyarakat
Dalam kehidupan bermasyarakat, agama memiliki
fungsi yang vital, yakni sebagai salah satu sumber hukum atau dijadikan sebagai
norma. Agama telah mengatur bagaimana gambaran kehidupan sosial yang ideal,
yang sesuai dengan fitrah manusia. Agama juga telah meberikan contoh yang
konkret mengenai kisah-kisah kehidupan sosio-kultural manusia pada masa silam,
yang dapat dijadikan contoh yang sangat baik bagi kehidupan bermasyarakat di masa
sekarang. Kita dapat mengambil hikmah dari dalamnya. Meskipun tidak ada
relevansinya dengan kehidupan masyarakat zaman sekarang sekalipun, setidaknya
itu dapat dijadikan pelajaran yang berharga, misalnya agar tidak terjadi
tragedi yang sama di masa yang akan datang.
Seperti yang kita semua ketahui, sekarang banyak
terdengar suara-suara miring mengenai Islam. Banyak orang kafir yang
memanfaatkan situasi ini untuk memojokkan umat Islam di seluruh dunia dengan
cara menyebarkan kebohongan-kebohongan. Menghembuskan fitnah yang deras ke
dalam tubuh masyarakat Islam, sehingga membuat umat Islam itu sendiri merasa
tidak yakin dengan keimanannya sendiri.
Kasus terhangat baru-baru ini adalah mengenai
pernikahan antara seorang kyai berusia 40 tahunan yang dikenal sebagai Syeh
Puji yang menikahi gadis berusia 12 tahun! Dalam pandangan Islam, hal ini
sah-sah saja. Karena, Rasulullah SAW sendiri menikahi Aisyah RA saat Aisyah
masih berumur 9 tahun! Tetapi bagaimana pandangan masyarakat umum saat ini
tentang kasus pernikahan ’unik’ ini? Banyak versi pendapat yang menghiasinya.
Ada masyarakat umum yang memandang peristiwa ini sebagai peristiwa yang
menghebohkan. Bagaimana ini bisa terjadi? Disinilah sebenarnya fungsi agama
sebagai sumber hukum yang utama dapat diterapkan. Kita boleh saja berbeda
pandangan mengenai peristiwa ini. Tetapi sekali lagi, agama lah yang harus kita
jadikan rujukan.
Daftar Pustaka
Sumber Buku:
Mubarrak, Zakky, 2008. MPKT Buku Ajar II: Manusia, Akhlak, Budi Pekerti dan
Masyarakat. Depok: Penerbit FEUI
Kaelany, DR, 2009. Islam Agama Universal. Jakarta: Midada Rahma Press
Sumber Internet:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar