WARALABA DI INDONESIA
A. Sejarah Waralaba (franchising)
Waralaba diperkenalkan pertama kali pada
tahun 1850-an oleh Isaac Singer, pembuat mesin jahit Singer, ketika ingin
meningkatkan distribusi penjualan mesin jahitnya. Walaupun usahanya tersebut
gagal, namun dialah yang pertama kali memperkenalkan format bisnis waralaba ini
di AS. Kemudian, caranya ini diikuti oleh pewaralaba lain yang lebih sukses,
John S Pemberton, pendiri Coca ColaNamun, menurut sumber lain, yang mengikuti
Singer kemudian bukanlah Coca Cola, melainkan sebuah industri otomotif AS, General Motors Industry ditahun 1898. Contoh lain di AS ialah sebuah
sistem telegraf, yang telah dioperasikan oleh berbagai perusahaan jalan
kereta api, tetapi dikendalikan oleh Western Union serta persetujuan eksklusif
antar pabrikan mobil dengan dealer. Waralaba saat ini lebih
didominasi oleh waralaba rumah makan siap saji. Kecenderungan ini dimulai pada tahun 1919
ketika A&W Root Beer membuka restauran cepat sajinya. Pada tahun 1935,
Howard Deering Johnson bekerjasama dengan Reginald Sprague untuk memonopoli
usaha restauran modern. Gagasan mereka adalah membiarkan rekanan mereka untuk
mandiri menggunakan nama yang sama, makanan, persediaan, logo dan bahkan
membangun desain sebagai pertukaran dengan suatu pembayaran. Dalam
perkembangannya, sistem bisnis ini mengalami berbagai penyempurnaan terutama di
tahun l950-an yang kemudian dikenal menjadi waralaba sebagai format bisnis (business
format) atau sering pula disebut sebagai waralaba generasi kedua.
Perkembangan sistem waralaba yang demikian pesat terutama di negara asalnya, AS, menyebabkan waralaba digemari sebagai suatu sistem bisnis diberbagai
bidang usaha, mencapai 35 persen dari keseluruhan usaha ritel yang ada di AS.
Sedangkan di Inggris, berkembangnya waralaba dirintis oleh J. Lyons
melalui usahanya Wimpy and Golden Egg, pada tahun 60-an. Bisnis waralaba
tidak mengenal diskriminasi. Pemilik waralaba (franchisor) dalam
menyeleksi calon mitra usahanya berpedoman pada keuntungan bersama, tidak
berdasarkan SARA.
B. Sejarah Waralaba di Indonesia
Di Indonesia, sistem waralaba mulai dikenal pada tahun 1950-an, yaitu
dengan munculnya dealer kendaraan bermotor melalui pembelian lisensi.
Perkembangan kedua dimulai pada tahun 1970-an, yaitu dengan dimulainya sistem
pembelian lisensi plus, yaitu franchisee tidak sekedar menjadi penyalur,
namun juga memiliki hak untuk memproduksi produknya[12] . Agar waralaba dapat berkembang dengan pesat, maka
persyaratan utama yang harus dimiliki satu teritori adalah kepastian hukum yang
mengikat baik bagi franchisor maupun franchisee. Karenanya, kita
dapat melihat bahwa di negara yang memiliki kepastian hukum yang jelas,
waralaba berkembang pesat, misalnya di AS dan Jepang. Tonggak kepastian hukum akan
format waralaba di Indonesia dimulai pada tanggal 18 Juni 1997, yaitu
dengan dikeluarkannya Peraturan
Pemerintah (PP) RI
No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba. PP No. 16 tahun 1997 tentang waralaba ini
telah dicabut dan diganti dengan PP no 42 tahun 2007 tentang Waralaba.
Selanjutnya ketentuan-ketentuan lain yang mendukung kepastian hukum dalam
format bisnis waralaba adalah sebagai berikut[13]:
- Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 259/MPP/KEP/7/1997 Tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba.
- Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba
- Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten.
- Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.
- Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang.
Banyak orang masih skeptis dengan
kepastian hukum terutama dalam bidang waralaba di Indonesia. Namun saat ini
kepastian hukum untuk berusaha dengan format bisnis waralaba jauh lebih baik
dari sebelum tahun 1997. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya payung hukum
yang dapat melindungi bisnis waralaba tersebut. Perkembangan waralaba di
Indonesia, khususnya di bidang rumah makan siap saji sangat pesat. Hal ini ini
dimungkinkan karena para pengusaha kita yang berkedudukan sebagai penerima
waralaba (franchisee) diwajibkan mengembangkan bisnisnya melalui master
franchise yang diterimanya dengan cara mencari atau menunjuk penerima
waralaba lanjutan. Dengan mempergunakan sistem piramida
atau sistem sel, suatu jaringan format bisnis waralaba akan terus berekspansi.
Ada beberapa asosiasi waralaba di Indonesia antara lain APWINDO (Asosiasi
Pengusaha Waralaba Indonesia), WALI (Waralaba & License Indonesia), AFI
(Asosiasi Franchise Indonesia). Ada beberapa konsultan waralaba di Indonesia
antara lain IFBM, The Bridge, Hans Consulting, FT Consulting, Ben WarG
Consulting, JSI dan lain-lain. Ada beberapa pameran Waralaba di Indonesia yang
secara berkala mengadakan roadshow diberbagai daerah dan jangkauannya nasional
antara lain International Franchise and Business Concept Expo
(Dyandra),Franchise License Expo Indonesia ( Panorama convex), Info Franchise
Expo ( Neo dan Majalah Franchise Indonesia).
C.
PERKEMBANGAN WARALABA DI INDONESIA
Bisnis waralaba di Indonesia mulai marak pada sekitar tahun 1970an dengan
bermunculannya restaurant-restaurant cepat saji (fast food) seperti Kentucky
Fried chiken dan Pizza Hut. Hingga tahuhn 1992 jumlah perusahaan waralaba di
Indonesia mencapai 35 perusahaan, 6 di antaranya adalah perusahaan waralaba
lokal dan sisanya (29) adalah waralaba asing. Perkembangan waralab asing.
Perkembangan waralaba asing dari tahun ke tahun berkembang pesat sebesar 710%
sejak tahun 1992 hingga tahun 1997, sedangkan perkembangan waralaba lokal hanya
meningkatkan sebesar 400% (dari sejumlah 6 perusahaan menjadi 30 perusahaan).
Namun
sejak krisi moneter tahun 1997, jumlah perusahaan waralaba asing mengalami
penurunan pertumbuhan sebesar -9.78% dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2001.
hal ini disebabkan karena terpuruknya nilai rupiah sehingga biaya untuk
franchise fee dan royalti fee serta biaya bahan baku, peralatan dan
perlengkapan yang dalam dollar menjadi meningkat. Hal tersebut mempengaruhi
perhitungan harga jual produk atau jasanya di Indonesia. Sebaliknya waralaba
lokal mengalami peningkatan pertumbuhan rata-rata sebesar 30%. Pada tahun 2001
jumlah waralaba asing tumbuh kembali sebesar 8.5% sedangkan waralaba lokal
meningkat 7.69% dari tahun 2000. Perkembangan bisnis waralaba di Indonesia
dapat dilihatpada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Perkembangan
Tahun
|
Jumlah
waralaba asing
|
Jumlah
waralaba lokal
|
Total
|
1992
|
29
|
6
|
35
|
1995
|
117
|
15
|
132
|
1996
|
210
|
20
|
230
|
1997
|
235
|
30
|
265
|
2000
|
212
|
39
|
251
|
2001
|
230
|
42
|
272
|
Sumber data : Deperindag, 2001
Menurut Anang Sukandar,ketua
asosiasi franchise Indonesia (2002) bisnis waralaba lokal merupakan usaha yang
prospektif di kembangkan di Indonesia. Berdasarkan analisa SWOT, juga dapat
disimpulkan bahwa bisnis waralaba sangat cocok dikembangkan oleh UKM
Fenomena
di atas menunjukkan adanya peluang bagi waralaba lokal untuk meningkatkan
peranannya dalam bisnis waralaba, OIeh karena itu. pemerintah perlu mengambil
langkah-langkah kebijakan bagi tumbuh kembangnya bisnis waralaba lokal, Hal ini
dapat dilakukan antara lain melalui penumbuhan pengusaha-pengusaha baru serta
memberdayakan UKM dan koperasi dalam bisnis waralaba baik sebagai penerima
waralaba (franchisee) maupun sebagai pemberi waralaba (franchisor).
Waralaba merupakan prospek bisnis
bagi UKM karena sudah terbukti dapat meningkatkan akses pasar UKM,
mensinergikan perkembangan usaha besar dengan UKM melalui kemitraan, serta
mempercepat mengatasi persoalan kesenjangan kesempatan berusaha antara golongan
ekonomi kuat yang sudah mempunyai jejaring dengan golongan ekonomi lemah,
Sistem ini juga mempercepat pemanfaatan produk dan jasa untuk didistribusikan
ke daerah-daerah, karena sistem ini memungkinkan partisipasi dari sumberdaya
daerah terlibat hingga ketingkat kecamatan, bahkan sampai ke pedesaan.
Oleh karena itu pertanyaan yang
masih perlu dicarikan jawabannya ke depan adalah pertama, bagaimana upaya
mendorong pengusaha UKM Untuk ambil bagian dalam bisnis waralaba berteknologi
maju tersebut sehingga mereka bisa lebih terberdayakan, yang pada gilirannya
diharapkan mampu mengembangkan dirinya secara berkelanjutan, kedua, sejalan
dengan itu bagaimana upaya membangun dan menumbuh-kembangkan sistem waralaba
yang asli hasil inovasi teknologi dalam negeri agar baik multiplier pendapatan
maupun tenaga kerja seluruhnya dapat dinikmati oleh masyarakat banyak.
D. Fungsi SOP dalam bisnis franchise
Setiap perusahaan apapun bisnis maupun
usahanya wajib memiliki yang namanya standar operating procedure (SOP). SOP
adalah suatu standar pekerjaan sehari-hari secara tertulis mengenai uraian
pekerjaan atau job description. Isinya bisa mencakup mengenai apa yang harus
dilakukan, kapan, dimana dan oleh siapa, serta dengan cara yang paling efektif
selama ini.
SOP merupakan guideline bagaimana
proses sebuah fungsi kerja dapat ditegakkan. Keberadaannya dapat menjadi
rujukan apabila ditemukan sesuatu tidak maksimal dalam hal ini tidak efisien
dan efektif. Pada umumnya orang
atau perusahaan di Indonesia belum terbiasa membuat uraian pekerjaan maupun
uraian jabatan secara tertulis dengan baik padahal hal itu merupakan suatu
panduan. Akibatnya prosedur kerja yang sering terjadi tidak jelas. Kalau sudah
begitu apa yang terjadi? Tentu saja kekacauan kerja yang ujung-ujungnya membuat
jalannya suatu perusahaan menjadi tidak maksimal.
Termasuk juga di bisnis franchise.
Menurut pengamatan masih banyak yang tidak membuat SOP dengan baik dan benar.
Kalaupun ada bisnis franchise yang sudah membuat, namun SOP tersebut
berbeda-beda dan tidak standar.
Di bisnis franchise, SOP termasuk
faktor kunci bisnis. Pasalnya, SOP akan dibawakan pada pihak lain dalam hal ini
franchisee. Dengan begitu mau tidak mau SOP harus menjadi suatu paket dokumen
tertulis dari franchisor yang diberikan kepada franchisee, dan franchisee wajib
mengikutinya agar bisa menjalankan bisnisnya.Jadi dalam hal ini SOP dalam
franchise fungsinya lebih kepada dokumen untuk ketertiban adimintrasi dan
keseragaman dari semua outlet.
Karena merupakan paket dokumen
tertulis yang diberikan franchisor kepada franchisee, seyogyanya SOP dalam
bisnis franchise harus mencakup tiga hal. Pertama, pendahuluan, sejarah
perusahaan, organisasi franchisor serta kewajiban franchisor dan franchisee.
Kedua, harus mencakup aturan umum operasi, faktor sukses yang penting apa,
standar mutu, hubungan pelanggan, sistem persediaan, variasi produk, tata cara
beroperasi, penentuan harga, cara menjaga citra merek, dan pelayanan konsumen.
Ketiga, perawatan, keuangan, pemasaran, operasi dan personalia.
Untuk membuat SOP yang baik, sebaiknya
dibentuk suatu tim khusus dan tim ini harus ada koordinatornya serta didukung
oleh pimpinan tertinggi. Setiap tim memliki tugas yang berbeda. Tim penjualan
misalnya, membuat SOP mengenai penjualan lalu tim pembelian membuat SOP mengenai
pembelian dan seterusnya.
Sumber-sumber dalam proses
pembuatannya bisa diambil dari pengalaman-pengalaman yang pernah dialami.
Kemudian dari pengalaman-pengalaman tersebut disaring dan dipilih mana yang
terbaik, yang dapat membuat bisnis berjalan maksimal. Walaupun begitu yang juga harus selalu
diingat, bahwa dalam membuat SOP harus mengacu kepada masalah kemudahan.
Jadi SOP yang dibuat tidak boleh menyulitkan, mudah dimengerti serta mudah
ditangkap.
Memang, namanya bisnis selalu berubah
seiring berjalannya waktu. Karenanya SOP dalam hal ini sebaiknya harus juga
selalu ditinjau dan dievaluasi. Jika dirasa kurang maksimal SOP bisa dirubah, tetapi tetap harus
memperhatikan kondisi yang ada. Sejatinya, membentuk SOP sangatlah mudah dan bisa dibuat oleh siapa
saja. Kalaupun selama ini ada yang bilang sulit lebih kepada faktor
“kemalasan’ saja.
E. Keunggulan dan
Kelemahan Sistem Franchise
Franchising juga merupakan strategi perluasan dari suatu usaha yang
telah berhasil dan ingin bermitra dengan pihak ketiga yang serasi, yang ingin
berusaha, dan memiliki usaha sendiri. Sistem franchise ini mempunyai
keunggulan-keunggulan dan juga kerugian-kerugian. Keunggulannya adalah:
“As practiced in retailing, franchising offers franchisees the advantage
of starting up a new business quickly based on a proven trademark and formula
of doing business, as opposed to having to build a new business and brand from
scratch.”
“Seperti dalam praktek retailing, franchising menawarkan keuntungan untuk memulai suatu bisnis baru dengan cepat berdasar pada suatu merek dagang yang telah terbukti bisnisnya, tidak sama seperti dengan membangun suatu merek dan bisnis baru dari awal mula.” Selain itu menurut Rachmadi keunggulan lainnya dari sistem franchise bagi franchisee, antara lain:
“Seperti dalam praktek retailing, franchising menawarkan keuntungan untuk memulai suatu bisnis baru dengan cepat berdasar pada suatu merek dagang yang telah terbukti bisnisnya, tidak sama seperti dengan membangun suatu merek dan bisnis baru dari awal mula.” Selain itu menurut Rachmadi keunggulan lainnya dari sistem franchise bagi franchisee, antara lain:
1. Pihak franchisor memiliki akses pada
permodalan dan berbagi biaya dengan franchisee dengan resiko yang relatif lebih
rendah.
2. Pihak franchisee mendapat kesempatan untuk
memasuki sebuah bisnis dengan cara cepat dan biaya lebih rendah dengan produk
atau jasa yang telah teruji dan terbukti kredibilitas mereknya.
3. Lebih dari itu, franchisee secara berkala
menerima bantuan manajerial dalam hal pemilihan lokasi bisnis, desain
fasilitas, prosedur operasi, pembelian, dan pemasaran. (Rachmadi, 2007, p. 78)
Sedangkan kerugian sistem franchise bagi
franchisee adalah:
1. Sistem franchise tidak memberikan kebebasan penuh kepada franchisee karena franchisee terikat perjanjian dan harus mengikuti sistem dan metode yang telah dibuat oleh franchisor.
1. Sistem franchise tidak memberikan kebebasan penuh kepada franchisee karena franchisee terikat perjanjian dan harus mengikuti sistem dan metode yang telah dibuat oleh franchisor.
2. Sistem franchise bukan jaminan akan
keberhasilan, menggunakan merek terkenal belum tentu akan sukses bila tidak
diimbangi dengan kecermatan dan kehati-hatian franchisee dalam memilih usaha
dan mempunyai komitmen dan harus bekerja keras serta tekun.
3. Franchisee harus bisa bekerja sama dan
berkomunikasi dengan baik dalam hubungannya dengan franchisor. (Sukandar, 2004,
p. 67)
4. Tidak semua janji franchisor diterima oleh
franchisee.
5. Masih adanya ketidakamanan dalam suatu
franchise, karena franchisor dapat memutuskan atau tidak memperbaharui
perjanjian. (Rachmadi, 2007,p. 9)
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar